Rabu, 18 Februari 2009

PEMISAHAN USAHA DALAM KERANGKA UU PT

Oleh ; Sandi Suwardi *

Undang-undang yang mengatur perseroan terbatas, atau disingkat PT, telah disahkan dan diundangkan pada tanggal 16 Agustus 2007 yaitu Undang-Undang No. 40 tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas (UU PT). Dengan disahkan dan diundangkannya UU PT, maka undang-undang yang lama yaitu Undang-Undang No.1 tahun 1995 dicabut dan dinyatakan tidak berlaku lagi. Dengan demikian, landasan hukum bagi PT didasarkan dan mengacu kepada UU PT.

Salah satu alasan yang menjadi pertimbangan untuk mengganti undang-undang yang mengatur PT adalah sebagaimana dicantumkan dalam konsiderans menimbang UU PT yaitu bahwa undang-undang yang lama dipandang sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan hukum dan kebutuhan masyarakat.

Meskipun mengundang banyak kritik dan keberatan, khususnya dari kalangan pengusaha yang menilai pemberlakukan UU PT justru akan menghambat laju investasi dan kegiatan usaha, namun sejumlah kalangan menyambut positif diberlakukannya UU PT. Undang-undang baru ini dinilai lebih komprehensif dan mengakomodasi perkembangan teknologi dalam dunia usaha, serta membarikan perlindungan bagi pemegang saham minoritas, karyawan, masyarakat dan lingkungan hidup dari kegiatan-kegiatan PT atau putusan para pemegang saham utama (major shareholders) yang menyangkut kelangsungan usaha PT.

Sebagai contoh, beberapa ketentuan baru yang dimuat dalam UU PT yang pada undang-undang lama tidak diatur, adalah :

Dimungkinkannya penggunaan media telekonferensi, video konferensi atau sarana media elektronik lain yang memungkinkan semua peserta Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) saling melihat dan mendengar secara langsung serta berpartisipasi dalam rapat (Pasal 77 ayat 1).
Kewajiban untuk melaksanakan Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan atau yang dikalangan dunia usaha lebih dikenal sebagai Corporate Social Responsibility (CSR) bagi PT yang menjalankan kegiatan usaha dibidang dan/atau yang berkaitan dengan sumber daya alam (Pasal 74 ayat 1).
Diaturnya masalah pemisahan usaha atau dalam UU PT dinamai Pemisahan.
Perbuatan hukum penggabungan (merger), peleburan (consolidation), pengambilalihan (acquisition atau take-over) dan pemisahan wajib memperhatikan kepentingan PT, pemegang saham minoritas, karyawan, kreditor dan mitra usaha, masyarakat dan persaingan sehat dalam melakukan usaha (Pasal 126 ayat 1).

Selain apa yang dikemukan diatas, ada beberapa ketentuan baru yang dicantumkan atau merubah ketentuan-ketentuan lama yang diatur dalam undang-undang yang lama, yang tidak mungkin disajikan secara detail dalam tulisan ini. Tulisan ini hanya memfokuskan pada masalah pemisahan usaha atau yang dalam UU PT disebut Pemisahan.

Seiring berkembangnya dunia usaha dan meluasnya kegiatan usaha dalam suatu PT, maka pemisahan beberapa usaha atau Pemisahan dalam satu PT menjadi lebih dari satu PT diantaranya untuk melakukan efisiensi usaha dan menekan ongkos operasi disamping untuk mengejar laba yang lebih maksimal menjadi alternatif yang dapat dipilih oleh pelaku usaha. Pemisahan memungkinkan bagi pengusaha untuk memisahkan satu atau beberapa kegiatan usaha yang dilakukan suatu PT ke dalam PT yang menerima Pemisahan. Dengan cara ini, PT yang melakukan Pemisahan dapat lebih memfokuskan pada usaha intinya (core business) tanpa pemegang saham harus kehilangan kontrol atau kendali atas PT yang menerima Pemisahan. Pemisahan juga dapat mengurangi risiko usaha pada PT akibat meluasnya kegiatan usaha yang dilakukan PT yang bersangkutan.

Meskipun demikian, pelaku usaha tidak cukup hanya melihat sisi positif dari pemisahan PT. Peraturan hukum yang berlaku dan resiko bisnis yang mungkin akan dihadapi perlu dicermati dan diantisipasi. Pemahaman tentang konsep Pemisahan dan sejauh mana pengaturan hukum yang diberikan harus pula dicermati oleh pelaku usaha untuk menghindari resiko bisnis yang tidak perlu dihadapi. Apalagi pengaturan masalah Pemisahan ini merupakan suatu ketentuan baru dalam UU PT yang tidak dikenal dalam undang-undang lama. Undang-undang lama hanya mengatur masalah penggabungan, peleburan dan pengambilalihan dan belum mengatur masalah Pemisahan.

Hal pertama yang harus diketahui adalah pengertian Pemisahan itu sendiri berdasarkan UU PT. UU PT dalam Pasal 1 mendefinisikan Pemisahan sebagai perbuatan hukum yang dilakukan oleh Perseroan untuk memisahkan usaha yang mengakibatkan seluruh aktiva dan pasiva Perseroan beralih karena hukum kepada dua Perseroan atau lebih atau sebagian aktiva dan pasiva Perseroan beralih karena hukum kepada satu Perseroan atau lebih. Dari definisi ini dapat disimpulkan bahwa : (i) sebagai akibat dari Pemisahan akan muncul paling tidak satu PT baru, (ii) yang dilakukan adalah pemisahan usaha dan bukan pemisahan saham, dan (iii) terjadinya peralihan aktiva dan pasiva karena hukum.

Konsep yang dianut UU PT ini melahirkan 2 (dua) jenis Pemisahan, dimana pemisahan dapat dilakukan dengan cara Pemisahan murni dan Pemisahan tidak murni. Pemisahan murni mengakibatkan seluruh aktiva dan pasiva beralih karena hukum kepada 2 (dua) PT lain atau lebih yang menerima peralihan dan PT yang melakukan Pemisahan tersebut berakhir karena hukum (Pasal 135 ayat 2). Sedangkan pada Pemisahan tidak murni mengakibatkan sebagian aktiva dan pasiva beralih karena hukum kepada 1 (satu) PT lain atau lebih yang menerima peralihan dan PT yang melakukan Pemisahan tetap ada atau tidak berakhir (Pasal 135 ayat 3). Pemisahan tidak murni dikenal juga sebagai spin off.

Kedua cara Pemisahan ini memiliki persamaan dan perbedaan. Persamaannya adalah adanya peralihan karena hukum atas aktiva dan pasiva dari PT yang melakukan Pemisahan. Dan perbedaannya terletak pada eksistensi PT yang melakukan Pemisahan setelah Pemisahan dilakukan. Pada cara yang pertama, yaitu Pemisahan murni, PT yang melakukan Pemisahan berakhir karena hukum, sedangkan pada cara yang kedua, yaitu Pemisahan tidak murni, PT yang melakukan Pemisahan tidak berakhir.

Dari sini timbul 2 (dua) pertanyaan dan masalah, yaitu yang pertama apa yang dimaksud dengan “beralih karena hukum” pada peralihan aktiva dan pasiva. Apakah pengertiannya sama dengan beralih secara hukum, misalnya, pada kasus pewarisan, dimana tidak diperlukan dokumen hukum atas peristiwa peralihan tersebut. Kita beruntung UU PT memberikan penjelasan dengan apa yang dimaksud dengan “beralih karena hukum” pada kasus Pemisahan ini. Dalam penjelasan Pasal 135 ayat 2 dijelaskan bahwa yang dimaksud dengan “beralih karena hukum” adalah beralih berdasarkan title umum sehinga tidak diperlukan akta peralihan. Dengan demikian jelaslah bahwa peralihan aktiva dan pasiva tersebut tidak memerlukan suatu akta atau dokumen peralihan sebagaimana jika kita mengalihkan asset atau barang, seperti contohnya tanah dan saham.

Masalah yang kedua, PT yang melakukan Pemisahaan pada cara Pemisahan murni berakhir karena hukum. Masalahnya adalah apakah diperlukan suatu proses atau mekanisme tertentu sebagaimana yang harus dilakukan pada pembubaran atau pengakhiran PT. Hal ini menyangkut pula status badan hukum PT yang bersangkutan. Dengan berakhirnya suatu PT maka berakhir pula status badan hukum PT tersebut. Sayangnya UU PT tidak menjelaskan apa yang dimaksud atau apakah diperlukan suatu proses tertentu berkaitan dengan berakhir karena hukum dalam kasus Pemisahan ini. Hal ini dapat melahirkan perbedaan persepsi pada pelaksanaannya nanti, apalagi peraturan pelaksanaannya belum ditetapkan oleh pemerintah. Oleh karenanya, Peraturan Pemerintah yang akan diberlakukan sebagai peraturan lebih lanjut dari Pemisahan harus sepatutnya memasukan ketentuan bahwa PT yang melakukan Pemisahan berakhir karena hukum tidak memerlukan suatu akta pengakhiran dan perlu juga ditegaskan apakah harus dilakukan proses likuidasi atau tidak atas PT tersebut sebagaimana dilakukan terhadap pembubaran PT. Hal ini penting dimasukan kedalam Peraturan Pemerintah nantinya, diantaranya untuk menghindari perbedaan penafsiran pada pelaksanaannya dan adanya kepastian hukum berkaitan dengan teknis pelaksanaan Pemisahan.

Mengacu kepada UU PT, maka PT yang berakhir karena hukum dalam kasus Pemisahan murni tidak dapat diklasifikasikan sebagai pembubaran PT, dimana dalam hal terjadi pembubaran PT wajib diikuti dengan proses likuidasi (Pasal 142). Dengan demikian semua ketentuan mengenai pembubaran dan likuidasi dalam UU PT tidak dapat diterapkan pada kasus berakhirnya secara hukum suatu PT dalam kasus Pemisahan murni.

Berakhirnya secara hukum suatu PT yang melakukan Pemisahan murni juga berkaitan erat dengan status badan hukum dari PT tersebut. Berakhirnya PT mengakibatkan berakhirnya status badan hukum. Disini timbul permasalahan, apakah PT yang melakukan Pemisahan murni statusnya sebagai badan hukum langsung berakhir. UU PT dalam Pasal 143 ayat 1 menegaskan bahwa pembubaran PT tidak mengakibatkan PT kehilangan status badan hukum sampai dengan selesainya likuidasi dan pertanggungjawaban likuidator diterima oleh RUPS atau pengadilan. Oleh karena berakhirnya PT karena hukum dalam Pemisahan murni tidaklah sama dengan pembubaran PT, maka ketentuan Pasal 143 ayat 1 tersebut tidak dapat diterapkan pada kasus Pemisahan murni. Penulis berpendapat di dalam Peraturan Pemerintah nantinya yang mengatur lebih lanjut Pemisahan perlu ditegaskan kapan berakhirnya status badan hukum PT yang melakukan Pemisahan murni.

Ketentuan mengenai status badan hukum PT yang berakhir karena Pemisahan diatur dalam Pasal 152 ayat 5 juncto ayat 6 UU PT. Menteri, yaitu menteri yang tugas dan tanggung jawabnya dibidang hukum dan hak asasi manusia, mencatat berakhirnya status badan hukum PT karena Pemisahan dan menghapus nama PT yang status badan hukumnya berakhir tersebut dari daftar Perseroan.

Disamping itu, kita perlu mengamati mekanisme Pemisahan yang diatur dalam UU PT. Salah satu pasal dalam UU PT, yaitu Pasal 126 ayat 1 yang menjadi sorotan sebagian kalangan pelaku usaha karena dianggap berpotensi menghambat laju investasi dan kegiatan usaha, mewajibkan perbuatan hukum Pemisahan memperhatikan kepentingan (a) Perseroan, pemegang saham minoritas, karyawan; (b) kreditor dan mitra usaha lainnya; dan (c) masyarakat dan persaingan sehat dalam melakukan usaha. Penjelasan Pasal ini menyebutkan bahwa Penggabungan, Peleburan, Pengambilalihan atau Pemisahan tidak dapat dilakukan apabila akan merugikan kepentingan pihak-pihak tertentu. Ketentuan inilah yang diprotes sebagian kalangan dunia usaha. Kata-kata ‘tidak dapat dilakukan apabila akan merugikan kepentingan pihak-pihak tertentu’ dapat diartikan pihak-pihak tertentu tersebut (seperti pemegang saham minoritas dan karyawan) dapat membatalkan Pemisahan jika menurut pendapat mereka akan merugikan kepentingan mereka.

Keputusan untuk melakukan Pemisahan harus didasarkan pada keputusan Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS). Pemegang saham yang tidak setuju untuk melakukan Pemisahan dapat meminta PT yang akan melakukan Pemisahan untuk membeli sahamnya dengan harga yang wajar (Pasal 126 ayat 2 juncto Pasal 62 ayat 1).


Direksi dari PT yang akan melakukan Pemisahan wajib mengumumkan ringkasan rancangan paling sedikit dalam 1 (satu) surat kabar dan mengumumkan secara tertulis kepada karyawan dalam jangka waktu paling lambat 30 (tiga puluh) hari sebelum pemanggilan RUPS (Pasal 127 ayat 2). Pengumuman dimaksudkan untuk memberikan kesempatan kepada pihak-pihak yang bersangkutan agar mengetahui adanya rencana Pemisahan dan mengajukan keberatan jika mereka merasa kepentingannya dirugikan (penjelasan Pasal 127 ayat 2). Kreditor dapat mengajukan keberatan atas rencana Pemisahan dalam jangka waktu paling lambat 14 (empat belas) hari setelah pengumuman (Pasal 127 ayat 4) dan jika dalam jangka waktu tersebut Kreditor tidak mengajukan keberatan, kreditor dianggap menyetujui Pemisahan (Pasal 127 ayat 5). Jika terdapat keberatan dari kreditor yang tidak dapat diselesaikan oleh Direksi sampai dengan tanggal diselenggarakannya RUPS, maka keberatan tersebut harus disampaikan dalam RUPS untuk mendapatkan penyelesaian (Pasal 127 ayat 6) dan selama penyelesaian tersebut belum tercapai, Pemisahan tidak dapat dilaksanakan (Pasal 127 ayat 7).

Selanjutnya, rancangan Pemisahan yang telah disetujui RUPS dituangkan ke dalam akta Pemisahan yang dibuat dihadapan notaris dalam bahasa Indonesia (Pasal 128 ayat 1).

Pada akhirnya, ketentuan mengenai Pemisahan yang diatur dalam UU PT memerlukan pengaturan lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah sebagaimana ditentukan dalam Pasal 136 bahwa ketentuan lebih lanjut mengenai Pemisahan diatur dengan Peraturan Pemerintah. Ini merupakan pekerjaan rumah bagi pemerintah untuk dapat segera memberlakukan Peraturan Pemerintah yang dimaksud secara komprehensif dan tidak menimbulkan multi tafsir, sebab : (i) ketentuan-ketentuan UU PT mengenai Pemisahan memang harus ditindaklanjuti dengan suatu peraturan pelaksana; (ii) kegiatan dunia usaha yang semakin berkembang disertai adanya suatu kebutuhan untuk melakukan efisiensi usaha untuk mendapatkan laba yang lebih maksimal, diantaranya dengan melakukan pemisahan usaha; (iii) beberapa kendala sebagaimana diuraikan di atas yang membutuhkan kepastian segera untuk menghindari timbulnya masalah dikemudian hari dalam pelaksanaan Pemisahan; dan (iv) pelaku usaha, pengacara, notaris dan pihak-pihak yang berkepentingan membutuhkan suatu aturan yang memuat ketentuan teknis pelaksaan Pemisahan.

Diharapkan dengan diberlakukannya UU PT dan segera dikeluarkannya peraturan-peraturan pelaksanaannya dapat menjadi landasan hukum yang memadai untuk menunjang pembangunan ekonomi nasional dan memenuhi kebutuhan masyarakat akan perlunya peraturan yang komprehensif dan berimbang.


* Penulis adalah pemerhati hukum, alumnus Universitas Padjadjaran dan Universitas Indonesia.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.